Senin, 13 Januari 2014

Kecerdasan Emosional


Print Friendly and PDF

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional atau yang biasa dikenal dengan EQ (bahasa Inggris: emotional quotient) adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan oranglain di sekitarnya.Dalam hal ini, emosi mengacu pada perasaan terhadap informasi akan suatu hubungan.Sedangkan, kecerdasan (intelijen) mengacu pada kapasitas untuk memberikan alasan yang valid akan suatu hubungan. Kecerdasan emosional (EQ) belakangan ini dinilai tidak kalah penting dengan kecerdasan intelektual (IQ). Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional dua kali lebih penting daripada kecerdasan intelektual dalam memberikan kontribusi terhadap kesuksesan seseorang(Maliki.2009:15).

Menurut Howard Gardner (1983) terdapat lima pokok utama dari kecerdasan emosional seseorang, yakni mampu menyadari dan mengelola emosi diri sendiri, memiliki kepekaan terhadap emosi orang lain, mampu merespon dan bernegosiasi dengan orang lain secara emosional, serta dapat menggunakan emosi sebagai alat untuk memotivasi diri.

Kecerdasan emosional dapat dikatakan sebagai kemampuan psikologis yang telah dimiliki oleh tiap individu sejak lahir, namun tingkatan kecerdasan emosional tiap individu berbeda, ada yang menonjol da nada pula yang tingkat kecerdasan emosional mereka rendah.

Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh dua orang psikolog, yakni Peter Salovey dan John Mayer. Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosinal (EQ) adalah “Himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan”. (Shapiro, 1998: 8). Beberapa bentuk kualitas emosional yang dinilai penting bagi keberhasilan, yaitu :

  1.  Empati
  2.  Mengungkapkan dan memahami perasaan
  3. Mengendalikan amarah
  4. Kemandirian
  5. Kemampuan menyesuaikan diri
  6. Disukai
  7. Kemampuan memecahkan maslah antar pribadi
  8. Ketekunan
  9. Kesetiakawanan
  10. Keramahan
  11. Sikap hormat dan menghargai.

Menurut psikolog lainnya, Bar-On (Goleman:2000: 180), mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi, dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Sedangkan Goleman (2002:512), memandang kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intellegence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial.

Jadi dapat diartikan bahwa Kecerdasan Emosi atau Emotional Quotation (EQ) meliputi kemampuan mengungkapkan perasaan, kesadaran serta pemahaman tentang emosi dan kemampuan untuk mengatur dan mengendalikannya. Kecerdasan emosi dapat juga diartikan sebagai kemampuan Mental yang membantu kita mengendalikan dan memahami perasaan-perasaan kita dan orang lain yang menuntun kepada kemampuan untuk mengatur perasaan-perasaan tersebut. orang yang cerdas secara emosi bukan hanya memiliki emosi atau perasaan tetapi juga mampu memahami apa makna dari rasa tersebut. Dapat melihat diri sendiri seperti orang lain melihat, serta mampu memahami orang lain seolah-olah apa yang dirasakan oleh orang lain dapat kita rasakan juga. Dan kecerdasan emosional bukan merupakan lawan dari kecerdasan intelektual melainkan keduanya berinteraksi secara dinamis, idealnya seseorang dapat menguasai keterampilan kognitif sekaligus keterampilan sosial emosional.

2.2 ciri – ciri kecerdasan emosional

            Goleman menggambarkan beberapa ciri kecerdasan emosional yang terdapat pada diri seseorang/peserta didik berupa :
  1. kemampuan memotivasi diri
  2. ketahanan dalam menghadapi frustasi
  3. kemampuan mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan
  4. kemampuan menjaga suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikr, berempati dan berdo’a.

Kemampuan memotivasi diri merupakan kemampuan internal pada diri seseorang berupa kekuatan menjadi suatu energi yang mendorong seseorang untuk mampu menggerakkan potensi-potensi fisik dan psikologis atau mental dalam melakukan aktivitas tertentu sehingga mampu mencapai keberhasilan yang diharapkan. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam diri anak terdapat kekuatan berupa potensi yang tidak secara otomatis dapat didayagunakan oleh seseorang  untuk mencapai sesuatu.

            Berikut peran orang tua atau guru dalam mengembangkan kemampuan enumbuhkan motivasi diri anak/peserta didik, yaitu :

a.       mengajarkan anak/peserta didik mengharapkan keberhasilan
b.      menyediakan kesempatan bagi anak untuk menguasai lingkungan
c.       memberikan pendidikan yang relevan dengan gaya belajar anak/peserta didik
d.      mengajarkan anak untuk menghargai sikap tidak mudah menyerah
e.       mengajarakan anak pentingnya menghadapi masalah dan mnengatasi kegagalan.


2.3  Emosi Dan Kegunaannya

Menurut Alan Mortiboys Peter Salovey dan Jack Mayer (1990) Kecerdasan emosional (EQ) meliputi:

a.       kemampuan untuk merasakan secara akurat, menilai dan mengekspresikan emosi;
b.      kemampuan untuk mengakses dan/atau menghasilkan perasaan ketika ia bersedia berpikir;
c.       kemampuan untuk memahami emosi dan pengetahuan emosional;
d.      Memampuan untuk mengatur emosi untuk mempromosikan pertumbuhan emosi dan intelektual.

            Dalam proses pembelajaran konvensional, aspek emosional secara eksplisit tidak mendapat tempat dalam pembahasan dan uraian materi perkuliahan atau pembelajaran sehingga idak menjadi bagian yang harus dipelajari. Padahal dalam kenyataannya, keterampilan-keterampilan emosional seperti diungkapkan sebeluemnya dapat dipelajari dan dilatih kepada anak karena disadari banyak yang dapat dilakukan guru, orang tua dan orang-orang dewasa lainnya dalam membantu anak mewujudkan kecerdasan emosinya. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak ang dilatih emosinya pada permulaan masa kanak-kanaknya sunggunh-sungguh mengembangkan jenis keterampilan sosial ini dikemudian hari, keterampilan sosial mampu membantu mereka untuk diterima oleh rekan-rekan sebaya dan untuk menjalin persahabatan-persahabatan (Gottmen & DeClaire, 1997:29).

            Kecerdasan emosi merupakan bagian dari aspek kejiwaan seseorang yang paling mendalam, dan merupakan suatu kekuatan, karena dengan adanya emosi itu manusia dapat menunjukkan keberadaannya dalam masalah-masalah manusiawi. Emosi menyebabkan seseorang memiliki rasa cinta yang sangat dalam sehingga seseorang bersedia melakukan sesuatu pengorbanan yang sangat besar sekalipun, walaupun kadang-kadang pengorbanan itu secara lahiriah tidak memberikan keuntungan langsung kepada dirinya bahkan mungkin mengorbankan dirinya sendiri. Kekuatan emosi sering kali mengalahkan kekuatan nalar, sehingga ada suatu perbuatan yang mungkin secara nalar tidak mungkin dilakukan oleh seseorang, tetapi karena kekuatan emosi kegiatan itu dilakukan.

            Para ahli sosiobiologi menyatakan keunggulan perasaan dibandingkan nalar, sehingga pada saat-saat tertentu emosi ditempatkan sebagai titik pusat jiwa manusia. Menurut para ahli emosi menuntun kita menghadapi saat-saat kritis dan tugas-tugas yang riskan bila hanya diserahkan kepada otak. Oleh karena itu pandangan mengenai kodrat manusia yang mengabaikan kekuatan emosi, jelas merupakam pandangan yang amat picik. Sebutan homosapiens, merupakan hal yang keliru dalam pola pemahaman serta visi baru yang ditawarkan oleh saint saat ini  tentang emosi dalam kehidupan kita. Hal-hal yang berkaitan dengan pengambilan keputusan dan tindakan, aspek perasaan sama pentingnya bahkan sering kali lebih penting dari pada nalar. Mereka mengemukakan bahwa “kita sudah terlampau lama menekankan pentingnya nilai dan makna rasional murni yang menjadi tolak ukur IQ dalam kehidupan manusia, padahal kecerdasan tidak akan berarti jika tidak didukung oleh kekuatan emosi.

            Karena emosi merupakan suatu kekuatan yang dapat mengalahkan nalar, maka harus ada upaya untuk mengendalikan, mengatasi dan mendisiplinkan kehidupan emosional, dengan memberlakukan aturan-aturan guna mengurangi akses-akses gejolak emosi, terutama nafsu yang terlampau bebas didalam diri manusia yang seringkali mengalahkan nalar. Pengembangan emosi dikalangan anak-anak akan membantu mereka mengambil keputusan dan dapat menilai mana sesuatu yang harus dilakukan dan mana tidak boleh dilakukan. Dengan demikian berartipula melindungi mereka dari berbagai propaganda dan slogan yang tidak sesuai dengan diri dan nilai-nilai yang dianutnya.

            Manusia secara universal memilikidua jenis tindakan pikiran, yaitu tindakan pikiran emosional (perasaan) dan tindakan pikiran rasional (berpikir). Kedua cara pemahaman yang secara fundamental berbeda ini bersifat saling mempengaruhi dalam bentuk kehidupan mental manusia. Pertama pikiran rasional, adalah model pemahaman yang lazim kita sadari: lebih menonjol kesadarannya, bijaksana, mampu bertindak hati-hati dan merefleksi. Tetapi bersamaan dengan itu ada sistem persamaan dengan itu ada sistem pemahaman yang lain: yang implusif dan ber-pengaruh besar bila kadang-kadang tidak logis, yaitu berfikiran emosional. Dikotomi emosional atau rasional kurang lebih sama dengan istilah awam antara “hati” dengan “kepala”. Mengatakan sesuatu yang benar didalam hati merupakan tingkat keyakinan yang berbeda dan cendrung merupakan kepastian lebih mendalam dari pada menganggapnya benar dalam menggunakan akal.

            Kedua fikiran tersebut, yang emosional dan rasional, pada umumnya bekerja dalam keselarasan yang erat, saling malengkapi dalam mencapai pemahaman guru mengarahkan seseorang menjalani kehidupan duniawi. Biasanya ada keseimbangan antara pikiran emosional dan pikiran rasional, dimana emosi memberi masukan dan informasi kepada proses pikiran rasional, dan pikiran rasional memperbaiki dan terkadang memveto masukan-masukan emosi tersebut. Namun pikiran emosional dan rasional merupakan kemampuan-kemampuan yang semi sendiri, masing-masing mencerminkan kerja jaringan sirkuit yang berbeda, namun saling terkait didalam otak. Di dalam banyak atau sebagian besar peristiwa, pikiran-pikiran ini terkoordinasi secara istimewa. Perasaan sangat penting bagi pikiran, dan pikiran sangat penting bagi perasaan.

            Jika dipahami dari struktur biologis, bahwa masalah-masalah emosi adalah bersumber dari amigdala yang merupakan bagian penting dari otak. Jika amigdala dipisahkan dari bagian-bagian otak lainnya, maka hasilnya manusia tidak memiliki kemampuan menangkap makna emosional suatu peristiwa yang disebut “ kebutaan afektif”. Dan karena kehilangan bobot emosional, maka peristiwa-peristiwa menjadi tidak memiliki makna, misalnya menarik diri hubungan antar manusia, tidak lagi mengenali sahabat bahkan ibunya sendiri,tetap pasif menghadapi kecemasan.

            Uraian diatas menyiratkan betapa pentingnya keseimbangan antara akal dan emosi, menyesuaikan kepala dan hati, dan bilamana keseimbangan ini goyah akan menjadi perseteruan nalar dan perasaan. Yang mendasari ini adalah bagaimana seseorang dapat memahami penggunaan emosi secara cerdas sehinnga dia akan dapat menjalankan aktivitas kehidupannya dengan lebih baik dalam suatu keseimbangan.

2.4  Kecakapan-Kecakapan Emosional

Upaya-upaya yang selama ini hampir seluruhnya diarahkan dalam meningkatkan standar akademis, pada akhir-akhir ini semakin dirasakan kepincangannya. Kecemasan yang sangat mendalam terhadap diperolehnya nilai-nilai buruk anak-anak sejumlah mata pelajaran, dikejutkan lagi oleh kecemasan lain yang lebih besar lantaran banyak kasus siswa yang mengejutkan justru tidak berkaitan dengan niali-nilai akademis tersebut, misalnya bagaimana seorang siswa dengan mudah tegah membunuh teman dekatnya sendiri. Kekurangan lain yang menimbulkan kecemasan lebih besar tersebut adalah buta emosi. Kekurangan baru berupa buta emosi yang yang dapat menimbulkan akses-akses negetif lebih besar ketimbang rendahnya standar akademis justru belum dipertimbangkan dalam kurikulum sekolah yang baku.

            Tanda-tanda kekurangan perhatian terhadap aspek emosi terlihat dari banyaknya peristiwa-peristiwa kekerasan dikalangan siswa, meningkatnya kekacauan masa remaja dan beberapa akses perilaku negatif lainnya. Diamerika serikat dalam tahun 1990 penahanan kaum remaja karena terlibat pemerkosaan meningkat menjadi dua kali lipat, laju pembunuhan anak muda meningkat menjadi empat kalinya. Dalam dua dasawarsa yang sama, laju bunuh diri kaum remaja meningkat menjadi tiga kali lipat, demikian juga jumlah ank-anak berumur dibawah empat belas tahun yang menjadi korban pembunuhan. Masih banyak kasus-kasus lain yang menunjukkan kecendrungan meningkatnya perilaku-perilaku negatif dan kriminal yang meresahkan.

            Penyebab paling lazim dari berbagai peristiwa diatas terutama pada ank-anak penyakit mental, utamanya berupa gejala-gejala depresi. Berdasarkan penilaian orang tua dan guru pada tahun 1970-an pada anak-anak usia 7-16 tahunan rata-rata anak semakin parah dalam masalah spesifik berikut:

1.      Menarik diri dari pergaulan atau masalah sosial
2.      Cemas dan depresi
3.      Memiliki masalah dalam d alam hal perhatian dan perpikir
4.      Nakal

Depresi atau kemerosotan emosi merupakan gejala universal kehidupan modern, dan keadaan ini akan semakin parah bilamana keluarga tidaklagi dapat berfungsi dengan baik dalam meletakkan landasan yang kuat bagi kehidupan anak.

            Tinjauan baru terhadap penyebab depresi pada kaum muda menunjukkan dengan jelas adanya cacat dalam dua bidang keterampilan emosional, yaitu keterampilan membina hubungan dan cara menafsirkan kegagalan yang memicu timbulnya depresi. Cara menafsirkan kegagalan hidup secara pesimistik tampaknya memperbesar rasa tak berdaya dan putus asa. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa meningkatnya depresi sangat erat kaitannya dengan peristiwa politik seperti peningkatan yang terjadi setelah perang saudara. Namun apapun penyebabnya, depresi pada orang muda merupakan masalah yang mendesak, dan depresi pada anak-anak bukan sekedar perlu diobati melainkan harus dicegah.

            Cara yang paling terbaik untuk mencegah terjadinya berbagai tindakan kekerasan, penyalahgunaan obat terlarang sebagai dampak lain dari depresi adalah dengan mengembangkan keterampilan emosional melalui penemuan ketahanan diri pada anak. Keterampilan ini mencakup kepandaian bergaul yang membuat orang tertarik pada mereka, keyakinan diri dan sikap optimisyang harus terus menerus dalam menghadapi kegagalan dan kekecewaan, maupun untuk dengan cepat bangkit dari kegagalan dan sikap santai. Sebuah kemampuanpenting untuk mengendalikan dorongan hati adalah mengetahui perbedaan antara perasaan dengan tindakan, dan belajar membuat keputusan emosional yang lebih baik dengan terlebih dahulu mengendalikan dorongan dan mengidentifikasi konsekuensi sebelum melakukan suatu tindakan. Pada sisilain perlu penjelasan dan aturan-aturan yang tegas tentang hak-hak, kewajiban serta segala sesuatu yang dapat merugikan dan membahayakan diri anak.

2.5  Penerapan kecerdasan emosional

Dalam berbagai bentuk kegiatan baik pada perkantoran, perusahaan, rumah sakit penerapan kecerdasan emosional menjadi bagian yang sangat penting. Jika hal itu dapat diterapkan peda perkantoran atau perusahaan-perusahaan orang-orang lebih merasa terbuka dan leluasa mengutarakan keluhan-keluhan sebagai kritik yang membangun, terciptanya suasana dimana keberagaman dihargai dan dapat menjalin jaringan kerja yang afektif. Pada rumah sakit dokter dan perawat mau berempati, mau menyesuaikan diri dengan pasien dan mau menjadi pendengar dan penasehat yang baik. Kesemuanya ini menyiratkan betapa kecerdasan emosional itu menjadi penting untuk diterapkan dalam semua aktivitas yang dilakukan baik secara pribadi maupun dalam aktivitas-aktivitas kelompok.

Dalam proses pembelajaran, penerapan kecerdasan emosional dapat dilakukan secara luas dalam berbagai sesi, aktivitas dan bentuk-bentuk spesifik pembelajaran. Pemahaman guru terhadap kecerdasan emosional serta pengetahuan tentang cara-cara penerapannya kepada anak pada saat ini merupakan bagian penting dalam rangka membantu mewujudkan perkembangan potensi-potensi anak secara optimal. Berikut bentuk kongkrit upaya mengembangkan kecerdasan emosional anak.

1.      Mengembangkan empati dan kepedulian

Pada uraian diatas salah satu bagian yang telah kita bahas bersama adalah tentang ciri-ciri kecerdasan emosional. Satu diantara ciri kecerdasan emosional tersebut adalah kemampuan menghadirkan sesuatu yang terjadi pada orng lain dalam emosi kita sendiri.

Anak-anak yang memiliki empati kuat cendrung tidak begitu agresif dan rela terlibat dalam kegiatan sosial, misalnya menolong orang lain dan bersedia berbagi. Anak-anak yang bersikap empati yang kuat ini memiliki kemampuan lebih besar untuk menjalin hubungan dengan teman sejawat dan dengan orang lain.

Beberapa cara yang perlu dilihatkan kepada anak untuk mengembangkan sikap empati dan kepedulian, antara lain:

a.       Memperketat tuntutan pada anak mengenai sikap peduli dan tanggung jawab.
b.      Mengajarkan dan melatih anak mempraktekkan perbuatan-perbuatan baik.
c.       Melibatkan anak didalam kegiatan-kegiatan layanan masyarakat.


2.      Mengajarkan kejujuran

Menurut Paul Ekman, penulis buku Why Children Lie, ada bermacam-macam alasan mengapa anak tidak berkata benar, sebagian dapat dimengerti, sebagian yang lain tidak. Anak kecil paling sering berbohong dengan maksud untuk menghindari hukuman, untuk mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan, atau untuk mendapatkan pujian dari sesama teman. Anak remaja sering berbohong untuk melindungi privasinya, untuk menguji kewibawaan orang tua dan untuk melepaskan diri dari rasa malu.

Beberapa hal penting yang dapat dilakukan guru atau orang tua dalam menumbuhkan kejujuran anak, antara lain :

a.       Usahakan agar pentingnya kejujuran terus menjadi topik perbincangan dalam rumah tangga,   kelas dan sekolah.

b.      Membangun kepercayaan

Membangun kepercayaan anak dapat dilakukan baik dengan menyampaikan cerita-cerita yang bertemakan saling kepercayaan atau melalui berbagai bentuk permainan.

c.       Menghormati privasi anak

Menghormati privasi anak berarti memberikan ruang yang berarti bagi tumbuhnya rasa percaya apada anak dan penghargaan pada anak. Guru dan orang tua harus berupaya untuk menghargai hal-hal yang mungkin dapat mengurangi harga diri mereka didepan teman-teman sebaya, orang tua maupun guru.



3.      Mengajarkan memecahkan masalah

Hal sangat penting yang harus diketahui para pendidik adalah kemampuan memecahkan masalah merupakan bagian yang menyatu dengan proses pertumbuhan. Pertumbuhan intelektual dan emosional anak didorong oleh proses pemecahan masalah. Seperti keterampilan EQ yang lain, kemampuan anak untuk memecahkan masalah umumnya sejalan dengan peningkatan usia.

Dalam sebuah buku yang berjudul children solving problem karangan stepahanie thomton (shapiro, 1997:141) mengutip sebuah hasil penelitian yang menyatakan bahwa anak-anak jauh lebih ahli dalam memecahkan masalah jauh dari yang diduga oleh kebanyakan orang. Ia menyimpulkan bahwa pemecahan masalah yang berhasil tidak begitu tergantung kepada kecerdasan sianak, akan tetapi lebih pada pengalaman mereka.

Dalam sebuku yang berjudul becoming a teacher, parkey (1997) mengemukakan bahwa untuk menghadapi tantangan masa depan, siswa akan membutuhkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai di sembilan area kunci yaitu:

a.       Kemampuan berbahasa, matematika dan saint
b.      Keterampilan teknologi baru
c.       Kemampuan pemecahan masalah, pikiran kritis dan kreativitas
d.      Kesadaran sosial, keterampilan berkomunikasi dan membangun sinergisitas kelompok
e.       Kesadaran global dan keterampilan konservasi
f.       Pendidikan kesehatan dan kesejahteraan
g.      Orientasi moral etika
h.      Kesadaran estetika
i.        Pendidikan seumur hidup untuk kemandirian belajar.

Dalam mengajarkan siswa memecahkan masalah, guru hendaknya memperhatikan secara sungguh-sungguh pengalaman-pengalaman siswa, terutama sekali dikalangan siswa yang berada pada jenjang pendidikan yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena anak-anak belajar memecahkan masalah melalui pengalaman-pengalaman mereka. Upayakan sedapat mungkin memberikan tantangan untuk memecahkan masalah, tanpa banyak campur tangan guru. Disamping itu guru perlu mengembangkan suasana yang mendukung pemecahan masalah tersebut yang memungkinkan mereka merasa lebih percaya diri serta merasa memiliki keleluasaan dalam mengaambil keputusan yang tepat.



BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan

Kecerdasan emosional atau yang biasa dikenal dengan EQ (emotional quotient) adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain di sekitarnya. Peserta didik yang memiliki kecerdasan emosional yang baik, akan membentuk generasi yang berpendidikan berkarakter. Kecerdasan Emosi atau Emotional Quotation (EQ) meliputi kemampuan mengungkapkan perasaan, kesadaran serta pemahaman tentang emosi dan kemampuan untuk mengatur dan mengendalikannya. Kecerdasan emosi dapat juga diartikan sebagai kemampuan Mental yang membantu kita mengendalikan dan memahami perasaan-perasaan kita dan orang lain yang menuntun kepada kemampuan untuk mengatur perasaan-perasaan tersebut. Orang yang mampu mengendalikan kecerdasan emosional yang dimilikinya akan memiliki peluang yang lebih baik untuk bisa sukses dan dipastikan lebih tenang dalam menyelesaikan permasalahan yang tergolong rumit. Dengan bertambahnya usia maka emosi yang tinggi akan mulai mereda atau menuju kondisi yang lebih stabil. Kecerdasan emosional juga berkaitan dengan arah yang positif jika remaja dapat mengendalikannya, memang dibutuhkan proses agar seseorang dapat mencapai tingkat kecerdasan emosional yang mantap. Penerapan kecerdasan emosional sangat penting di lakukan dalam proses belajar mengajar, karena di saat individu memiliki kecerdasan emosional yang baik, maka kemungkinan besar perkembangan individu tersebut akan baik dan berjalan lancar.

3.2 Saran                                                                                 

Tingkat kecerdasan emosional tiap individu bervariasi, namun pada dasarnya kemampuan emosional seseorang dapat di tingkatkan melalui proses dan tindakan tertentu. Emosi merupakan keadaan psikologis yang cukup sulit untuk dikontrol, namun tetap perlu di organisir dengan baik sehingga tidak terjadi gangguan yang berbahaya dalam proses perkembangan peserta didik. Orang tua maupun pendidik tidak mungkin selalu mengawasi perkembangan dan tingkah laku peserta didik setiap waktu, selain itu peserta didik pasti akan merasa terganggu dan merasa terbelenggu jika terus menerus diawasi. Mengingat hal tersebut, maka perlu di berikan pemahaman tentang kondisi psikologis dirinya sendiri, serta perlu di berikan arahan dalam menanggapi suatu permasalahan tanpa harus memaksakan kehendak pribadi. Keterbukaan dalam mendengarkan keluhan siswa dan memberikan dukungan moril yang cukup, akan membantu siswa dalam menghadapi transisi sehingga mampu mencapai kondisi emosional yang stabil.untuk hasil jangka panjang,hal tersebut akan sangat membantu peserta didik untuk mengeluarkan potensi terbaik yang di miliki sehingga unggul dalam kehidupan sosial,akademis dan sebagainya.



DAFTAR PUSTAKA

Gardner,H.1983.Pendidikan Emosional Usia dini.Bandung:C.V Tirta.

Goeleman.2000.Kecerdasan Manusia.Jakarta: Gramedia.

                                         




Artikel Terkait:

Comments
0 Comments

0 comments:

Posting Komentar

 

JADWAL SHALAT

PENGUNJUNG

CONTACT US


 
Cara Seo Blogger